Aceh: Ramadhan dan Lebaran 2007

Serambi Mekah, begitulah julukan Aceh yang diajarkan sewaktu SD dulu. Agak ngeri juga sewaktu saya mau berangkat ke Aceh, akan seperti apakah kondisi & penerapan Syariat Islam di Aceh? Apakah semua wanita harus berjilbab? Semua lelaki mesti berjanggut & pakai jubah? Ternyata keadaannya tidaklah seperti yang dibayangkan. Memang di Aceh ada yang namanya “polisi syariat” yang disebut Wilayatul Hisbah/ penegak Syariat Islam (WH) yg bertugas sperti polisi, memastikan pelaksanaan/ penerapan Syariat Islam oleh umat Islam, bukan bagi yang non-muslim.

Di Banda Aceh, kalau kita melihat perempuan yang tidak ber-jilbab dapat langsung disimpulkan dia adalah non-muslim yang biasanya Cina atau bule. Kadang masih dapat ditemukan juga perempuan berkulit coklat yang tidak berjilbab di jalan, dapat dipastikan mereka adalah pendatang, bukan orang Aceh. Walaupun demikian, di beberapa daerah Aceh non-muslim juga “dimohon toleransi”-nya untuk juga menghormati penerapan Syariat Islam ini. Sepertinya nyaris setiap hari ada berita di koran ttg tindakan2 yang dilakukan WH, a.l.: pasangan yg ditangkap karena kedapatan melakukan khalwat (mesum), razia bagi wanita yang berpakaian non-muslim di jalan (termasuk “jilbab gaul” yang ketat), dll.  Pernah pula operator telepon selular XL mengecat spanduk-spanduk & umbul-umbul yang telah dipasang di jalan-jalan sepanjang Banda Aceh karena menampilkan seorang pria yang diapit oleh 2 orang wanita. Yang dicat adalah kedua wanita yang mengapit karena menampilkan aurat: kulit lengan (karena berkaos tangan pendek) dan rambut. Ada pula konser grup band dari Jakarta (Nidji) yang dilarang tampil sehari sebelum pelaksanaannya karena dianggap dapat menimbulkan maksiat.

Meugang adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh untuk menyantap daging (sapi/ kerbau). Tradisi ini dilakukan sehari sebelum puasa, sehari sebelum lebaran & sehari sebelum idul adha. Pada saat meugang & sehari sebelumnya harga daging di pasar bisa mencapai Rp100.000 per kilo! Saat meugang puasa kemarin Banda Aceh sepi selama beberapa hari karena banyak penduduknya yang mudik ke kampung halaman utk melakukannya bersama keluarga. Tiga hari pertama di bulan Ramadhan Banda Aceh sepi, toko-toko & pasar tutup.

Beberapa toko baru buka menjelang magrib atau selewat tarawih. Bagi mereka yang tidak puasa & tidak masak di rumah selama bulan ramadhan akan terpaksa ikut tidak makan siang karena tidak ada satu pun penjual makanan. Walaupun demikian, selepas azhar (jam 4 sore) banyak sekali pedagang-pedagang kaget di pinggir jalan yang menjual panganan utk berbuka puasa seperti: air tebu, es campur, jajanan pasar yang manis, mie aceh, rujak aceh, lemang (ketan/ ketan hitam/ ubi yang dimasak di dalam bambu). Kota yang sepi seharian mulai hidup saat itu. Akan tetapi keramaian itu tidak berlangsung lama karena menjelang magrib jalanan sepi kembali hingga selepas tarawih (+/- jam 9.30pm). Bahkan ada beberapa tempat belanja yang buka hingga jam 2 pagi selama bulan puasa.

Mesjid sepertinya penuh dengan kegiatan hingga tengah malam. Kita dapat mendengarkan orang-orang yang sedang sholat tarawih & sembahyang setelahnya hingga sekitar jam 1pagi. Lalu ada jeda sekitar 2 jam, di mana selanjutnya pada jam 3 pagi ada panggilan utk sahur dan mulai kembali terdengar kegiatan di mesjid hingga selesai sholat subuh.

Pabrik tempat saya bekerja berada di sebuah desa yang berjarak 30 km dari Banda Aceh. Di sana semua kegiatan berhenti selama bulan puasa, semua orang dewasa berpuasa. Tidak ada toko apalagi warung nasi yang buka, semua libur selama bulan puasa. Jaranglah kita berjumpa orang di jalan, kalau pun kita ada pasti orang tersebut terlihat lesu & lemas. Pabrik pun libur, tidak ada kegiatan. Namun anehnya, pabrik justru lebih ramai dan sering dikunjungi orang-orang desa selama bulan puasa dari pemuda desa, jawara-jawara, tokoh-tokoh GAM juga ada di pabrik. Ini dikarenakan lingkungan pabrik yang tertutup & dikelilingi pagar benteng sangat ideal bagi mereka yang merasa perlu “sahur” lagi agar kuat “berpuasa” hingga magrib, atau hanyalah sebatas menghisap sebatang dua batang rokok.

Tidak adanya kegiatan selama puasa bukannya berarti tidak ada insiden. Sempat terdengar berita ada orang yang dipukuli oleh pemuda desa karena ketahuan masak di hutan. Beberapa hari kemudian ada lagi berita bahwa para pemuda desa mengobrak-abrik dapur alam yang dibuat beberapa orang di pinggir sungai. Ironinya, para pemuda desa yang melakukan semua itu justru pengunjung tetap pabrik selama bulan puasa.

Malam takbiran di Banda Aceh sangatlah berbeda dengan di Bandung. Selama ini setahu saya yang namanya malam takbiran adalah malam di mana kita bisa menikmati “surround sound system” di sekeliling rumah semalam suntuk. Malam takbiran kemarin di Aceh boleh dibilang sepi dalam arti sesungguhnya. Tidak terdengar suara apapun dari mesjid selewat jam 8 malam. Gema takbir baru mulai lagi jam 6 pagi hingga menjelang sholat Ied.

Layaknya hari Lebaran di tempat-tempat lain di Indonesia, hari Lebaran di Aceh pun diwarnai dengan acara sirahturahmi. Para tamu tidak disuguhi ketupat seperti di P. Jawa, tapi ada makanan lain yang khas Lebaran di Aceh yaitu timphan. Timphan ada sejenis panganan manis yang terbuat dari tepung beras ketan yang dibungkus oleh daun pisang muda dan dibentuk seperti otak-otak pipih lalu dikukus. Timphan ini biasanya diisi dengan selai sarikaya, ada pula yg diisi oleh potongan-potongan kecil pisang atau gula merah & kelapa.

Hari Lebaran adalah hari yang dinanti-nantikan oleh anak-anak, selain mereka mendapatkan uang dari para handai taulan yang mereka salami hari itu, khusus para anak laki-laki mendapatkan hadiah lebaran berupa senapan mainan yang berpeluru plastik. Anak-anak itu akan jalan bergerombol, biasanya per kampung dan perang dengan kelompok lainnya. Ada pula anak-anak yang ikut kendaraan umum & duduk di atas atap mobil dengan memegang senapan mereka. Biasanya di persimpangan mereka berjumpa dengan rombongan anak-anak lainnya, mereka akan berloncatan turun dari mobil & dimulailah peperangan. Kegiatan perang-perangan ini sudah menjadi tradisi bagi anak-anak di Aceh. Peperangan ini bukanlah tidak menimbulkan korban, kadang karena saking menjiwai peperangan itu mereka berkelahi sunguhan dan tidak ada orang dewasa yang mengawasi (para orang tua sedang sibuk bersirahturahmi). Selain luka-luka karena berkelahi, ada pula laporan tentang anak yang buta karena matanya kena tembak. Walaupun demikian para orang tua tidak ada larangan dari orang tua. Mereka bilang biarlah anak-anak menikmati lebaran mereka, nanti selewat lebaran baru mereka akan melarang senapan mainan tersebut.

(232) view

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.